Senin, 26 Desember 2011

URGENSI WALA

URGENSI WALA
. Pengertian Dan Kedudukan al-Walaa’ dan al-Baraa’
Wala’ adalah masdar dari kata kerja “walaya” yang artinya dekat. Dan yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai, membantu dan menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya serta bertempat tinggal dengan mereka. Sedangkan al-baraa’ adalah masdar dari baraa’ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya adalah memutus hubungan dengan musuh atau memutus ikatan hati dengan orang kafir.
Al-wala’ wal bara’ ini merupakan salah satu kandungan kalimat Tauhid. Allah berfirman:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,RasulNya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah. Dan siapa yang mengambil Allah, rasuNya, dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka pengikut agama Allah itulah yang akan menang” (al-Maaidah:55-56)
Allah juga berfirman;
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (al-Mujadalah;22)
Al-wala’ wal bara’ juga merupakan tali keimanan yang paling kuat, sebagaimana disebutkan di dalam hadis nabi,
Ikatan Iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah dan bermusuhan kerena Allah, cinta kerana Allah dan benci karena Allah (HR Thabrani)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
“Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi walaa karena Allah dan memusuhi karena Allah. Maka sesungguhnya kewalian dapat diperoleh dengan itu. Dan seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman sekalipun banyak shalat dan berpuasa sampai ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum bahwa persaudaraan manusia berdasarkan kepentinga duniawi yang demikian itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi para pelakunya” (HR.Thabrani dalam al-Kabir)
Sehingga orang yang memberikan wala’ kepada orang kafir ia bisa termasuk ke dalam golongan mereka, sebagaimana firman Allah;
Barang siapa di antara kamu memmereka sebagai wali (memberikan wala’ kepada mereka), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (al-Maidah:51)
Hukum Menyambut dan Merayakan Hari Raya Orang Kafir
Sesungguhnya di antara konsekuensi kalimah tauhid, laa ilaha illallah adalah al-bara’ dari segala ibadah kepada sesembahan selain Allah. Termasuk dalam hal ini adalah menjauhi syi’ar-syi’ar ibadah mereka, sedang syiar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka kaum muslimin berkewajiban menjauhinya dan meninggalkannya.

Tsabit bin Dhohhak ra berkata: “Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah [ Buwanah : nama suatu tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam; atau anak bukit sebelah Yanbu'.], lalu ia bertanya kepada Rasulullah saw, maka Nabi bertanya: “apakah di tempat itu ada berhala berhala yang pernah disembah oleh orang-orang jahiliyah? para sahabat menjawab: tidak, dan Nabipun bertanya lagi: “apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka? para sahabatpun menjawab: tidak, maka Nabipun menjawab: “laksanakan nazarmu itu, kerana nazar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang” (HR. Abu Daud, dan Isnadnya menurut persyaratan Imam Bukhori dan Muslim).
Hadis di atas menunjukkan tidak boleh melakukan penyembelihan di tempat yang biasa digunakan sebagai hari raya kaum jahiliyah, sebab hal itu termasuk membantu menghidupkan syi’ar mereka, atau menjadi wasilah menuju kemusyrikan. Maka demikian pula ikut bergembira dan merayakan hari raya kaum musyrik berarti memberikan wala’ kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar mereka.
Di antara hal yang dilarang dalam kaitannya dengan hari raya orang kafir adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan atau hari sekolah, masak-masak dalam rangka merayakannya. Termasuk di dalamnya menggunakan kalender masehi. Bahkan dianjurkan kaum muslimin untuk menggunakan penanggalan hijriyah. Memang untuk masa sekarang persoalan kalender hijriyah menjadi sangat rumit, karena semua orang menggunakan kalender masehi. Setidaknya, umat islam tetap mencantumkan kalender hijriyah dengan diikuti konversinya pada kalender masehi agar orang pada umumnya memahami.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh dengan mereka dalam hal yang khusus bagi hari raya mereka seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan hari kerja dan yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri, memberi hadiah, menjual barang guna yang diperlukan untuk hari raya. Tidak halal mengizinkan anak-anak melakukan permainan Ringkasnya tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas hari raya mereka”
Yang dimaksud oleh Ibnu taimiyah melakukan permainan adalah permainan yang bersifat khusus dan special. Kalau biasanya anak-anak sudah bermain kejar-kejaran, dan hari itu bermain kejar-kejaran tentu tidak masalah. Tetapi kalau biasanya tidak bermain terompet, lalu berkaitan dengan tahun baru bermain terompet maka hal itu tidak boleh. Anak-anak yang meminta permainan khusus itu harus dijelaskan, bahwa permainan itu saat ini adalah permainan orang musyrik dan orang kafir. Dan Rasulullah tidak mengizinkan umat islam meniru-niru mereka.
Demikian juga kita dilarang mengucapkan selamat (tahni’ah) atau ucapan belasungkawa (ta’ziyah), sebab itu berarti memberi walaa’ dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka.
Ibnul Qayyim berkata: “…jika mengucapkan selamat kepada syi’ar-syi’ar kufur yang khusus menjadi milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan,”selamat hari natal” atau “berbahagialah pada hari ini raya ini” atau yang seperti itu, maka kalaupun ia selamat dari kekufuran, ia tidak bisa lepas dari kemaksiatan dan keharaman. Sebab itu sama saja dengan memberi ucapan selamat atas sikap mereka yang menyembah salib”. Selanjutnya beliau mengatakan, “maka barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka ia telah memantik murka Allah…”
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa memberi ucapan selamat, bergembira dengan hari raya orang kafir dilarang karena yang demikian menunjukkan kerelaan kepada agama mereka. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, dengan ikut serta dalam perayaan natal bersama, merayakan tahun baru masehi, atau ikut terlibat aktif dalam valentine day, maka bisa dinilai sebagai ikut ambil bagian di dalam ibadah mereka.
Semestinya kita merenugkan sikap nabi Ibrahim as yang menjadikan Allah mengangkatnya sebagai teladan untuk umat ini,:”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu pada) Ibrahim dan orang-orng besertanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah” (al-Mumtahanah: 4)
Allah mengangkat nabi Ibrahim sebagai teladan bagi kita karena beliau dengan tegas menyatakan, “Kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selian Allah”. Jika Allah telah menegaskan bahwa sikap itu harus diteladani, lalu apakah yang menyebabkan kita berat meneladani nabi ulul azmi ini?
Wallahu A’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar